Bangkitkan Gerakan Literasi Perawat



                                                                 Oleh : Iwansyah,S.Kep.,Ns
 (CEO Suara Literasi Perawat Indonesia)

Apakah nasib kita akan seperti sepeda rongsokan karatan?
O, tidak, dik..
Kita harus membaca lagi
Agar bisa menuliskan isi kepala
Dan memahami dunia
~Wiji Thukul~

Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam ruang pergulatan hidup manusia, ia adalah bagian imanen dari sejarah panjang kehidupan, perubahan memasuki seluruh aspek kemanusiaan termasuk aspek ketidakadilan, kesenjangan, penindasan dan deskriminasi. Dalam dunia keperawatan terdapat beberapa gelombang perubahan yang  menerpa di antaranya gaji yang renda, prosedur UKOM yang salah kapra, lamanya proses pembuatan STR dan tidak adanya konsil keperawatan menghambat proses kesejahteraan perawat.
Masalah tersebut berada dalam area konseptual, hampir tidak ada elemen gerakan yang mampu melahirkan konsep baru yang bisa dipertaruhkan kualitasnya dalam ranah analisa sosial dan bervisi jangka panjang, konsep tanpa aksi memang tidak pernah melahirkan perubahan namun gerakan yang tidak memiliki landasan konseptual matang justru berpotensi menjadikan rekayasa sosial terkatung-katung di tengah jalan. Faktor utama terjadinya kemiskinan konseptual adalah karena budaya literasi (budaya menulis) sebagai basis penyangga konseptual mengalami degradasi yang sangat tajam, bahkan kita hanya menjumpai jejak duka yang menjadi problem terbesar yang dihadapi oleh profesi perawat dari dulu hingga sekarang sepertinya perawat belum juga hidup dalam kesejateraan dan belum ada gerakan yang mampu melahirkan revolusi peradaban kejayaan perawat akibat minimnya perawat yang giat akan budaya literasi sebagai salah satu bentuk  aksi pembelaan terhadap kesenjangan sosial yang terjadi pada profesi perawat.
Memang kebanyakan yang hidup dalam kemewahan (kaum mayoritas) dan sudah mapan pekerjaannya menganggap gaji perawat yang redah itu hal yang biasa, prosedur pelaksaan UKOM dan lamanya proses pembuatan STR adalah suatu kewajaran akan tetapi bagaimana dengan nasib mereka yang tidak mampu (kaum minoritas) dan dipinggirkan membutuhkan pekerjaan untuk kebutuhan hidup tapi kunci gerbang pekerjaan lagi-lagi  STR, gaji yang yang minim bagi yang sudah bekerja  untuk makan dan transportasi saja tidak cukup. Apakah itu suatu kewajaran, hal yang biasa dan di anggap idealis? Kebanyakan tulisan kiri dengan nada kritis yang saya keluarkan banyak yang tidak terima dengan alasan mempublikasikan kepahitan perawat di media massa dan merusak citra perawat. Sekali lagi  biarkan pena ini menjadi saksi bahwa  segala coretan  adalah bagian dari kepedulian dan pernyataan sikap untuk memperjuangkan profesi ini terhadap ketertindasan yang di alami dari dulu hingga sekarang belum ada perubahan. Bukankah ungkapan beberapa tokoh seperti Ibnu Sina bapak kedokteran, Alber eistein penemu teori relativitas, Thomas alva Edison penemu bola lampu, Imam syafii ilmuwan mesir, Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan Indonesia, berdasarkan tulisan yang mereka katakan bahwa gerakan literasi adalah aktivitas yang berperang penting bagi peradaban manusia dari masa ke masa untuk merubah segala sesuatu. Menulis kata berarti membangun masa depan yang produktif. Dari jejak mereka inilah sehingga saya memperjuangkan profesi ini dalam bentuk tulisan kiri  untuk menghasut dan meyakinkan, kritis menanggapi masalah. Bangkit Melawan...Diam Ditindas...Mundur adalah penghianatan.
 Kaum buruh dinaikan gaji oleh pemerintah karena mereka menyuarakan apa yang menjadi keluhannya. Sementara kita, Apakah problem sosial yang terjadi ini suatu kewajaran tanpa menyuarakannya, dan dipendam begitu saja? tanpa ada gerakan perlawanan? Dimana hati nuramimu melihat problem sosial yang terjadi lalu diam begitu saja? Apakah kalian menyalahkan orang yang selama ini menyuarakan keluhan sebagai sikap pembelaan terhadap profesi ini? Dalam situasi kusut kita jangan tinggal diam apalagi sebunyi dibalik layar. Ketakutan jadi sandaran harian kita, keyakinannya tak konvrontasif  tapi psimis, mapan sekaligus kalut. Tiap kali kemapanan menyergap maka nyali dan gagasan radikal jadi melemah. Wiji Thukul, yang hingga kini tak tahu entah dimana keberadaanya melakukan pembelaan penindasan dengan aksi gerakan literasinya, membuat puisi sebagai cerminan  untuk membangkitkan api etos perjuangan gerakan, biarpun itu dalam dunia penulisan. Puisinya seperti ledakan yang kasar tapi menawan:
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
            Itu seharusnya mampu menyadarkan para pelaku gerakan untuk menghidupkan kembali budaya literasi perawat,  sebagai bentuk aksi kita. Tuntut kedaulatan perawat yang telah lama hilang rebut kekuasaan dari komplotan para penakut, satukan barisan dan kekuatan demi kemajuan profesi ini. Bangkitkan gerakan budaya literasi di dunia keperawatan sebagai bentuk luapan aspirasi dan keluhan kita. Menghidupkan budaya literasi bukan berarti ingin menggiring manusia pada wilayah keasyikan intelektual akan tetapi hal ini dimaksudkan sebagai modal awal ketika meletakkan landasan kokoh sebagai luapa aspirasi kita terhadap problem yang melanda profesi perawat. Pengkondisian budaya literasi akan melahirkan intelektual literasi, yakni tipe intelektual yang tidak sporadis dalam memandang setiap wacana sosial yang muncul, ia mampu melakukan analisa secara mendalam terhadap setiap masalah sosial yang ada. Dalam lanskap yang lebih universal, mereka inilah yang diharapkan mampu menjadi ideolog-ideolog baru dalam ranah pembangkit api revolusi gerakan perawat. Kesadaran kita akan urgensi restorasi intelektual literasi mesti berasal dari sebuah pengakuan objektif tentang hilangnya budaya literasi perawat, profesi perawat bukan halnya selalu konsen dalam dunia pelayanan dan perawatan tapi juga harus memiliki jiwa literasi. Jadikan contoh para penggiat literasi menyuarakan aspirasi dengan nada kritisnya dalam dunia penulisan diantaranya: Rahmatullah Uyha Darmawan  pimpinan redaksi kabar perawat, Syaifoel Hardy CEO INT, Firman Admin Suara Perawat, dan Nugraha Fauzi pimpinan redaksi Creativeat21.com dan beberapa penulis perawat lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu  dari tulisan-tulisan orang hebat ini yang melengkapi isi buku yang saya rintis dengan judul “SAATNYA PERAWAT BANGKIT” yang insa allah bulan April 2016 akan di terbitkan buku ini lahir sebagai bentuk kepedulian saya terhadap dunia keperawatan. Orang-orang hebat ini perlu kita jadikan petron dan acuan ketika kita menginginkan dunia perawat lebih baik, membenahi keperawatan dalam budaya literasi merupakan salah satu gerakan yang mampu merubah profesi perawat menjadi lebih baik. kita tidak perlu malu mengakui bahwa budaya literasi telah habis ditelan waktu sehingga butuh merekonstruksi dari awal, kesadaran semacam ini menjadi hal penting karena ia bisa bertindak sebagai entry point  dalam menguatkan pondasi gerakan yang semakin rapuh, sebaliknya, pengingkaran terhadap masalah tersebut justru akan melapangkan jalan bagi terbentuknya rekayasa sosial prematur sekaligus membawa pelaku pada sebuah kesadaran palsu, dalam artian terdapat usaha secara sistematis untuk memungkiri realitas yang sebenarnya dengan membangun imaji berseberangan dengan realitas sosial lalu menganggapnya sebagai realitas murni, ini merupakan sebuah bentuk kemunafikan intelektual.
            Tetap harus diakui bahwa merestor budaya literasi dalam rangka menghadirkan intelektual literasi bukan pekerjaan remeh temeh apalagi jika ingin mengawalinya dari nol, usaha ini membutuhkan kesadaran bersama untuk melakukannya karena sejarah telah bertutur bahwa tidak ada peradaban yang mampu menjulang tinggi tanpa diramaikan oleh aktor intelektual literasi didalamnya. Tidak perlu berpikir tentang luas atau sempitnya skala aktivitas literasi yang dilakukan akan tetapi hal paling penting adalah bagaimana agar supaya aktivitas tersebut mampu mengakar dalam kultur profesi keperawatan.
            Mengawali usaha kebangkitan literasi, maka hendaknya komponen yang sadar tidak perlu menunggu jumlah yang banyak guna memulai mega proyek ini karena kenberhasilan tidak tergantung pada jumlah yang banyak. Dalam posisi ini penting  memfungsionalkan  komunitas kreatif sebagai penyangga keberhasilan proyek literasi, komunitas kreatif yang coba ditarik dalam konteks ini adalah sekelompok profesi keperawatan  yang memiliki kepekaan tinggi dan merasa terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kreatif dalam rangka merestorasi budaya literasi. Komunitas kreatif menjadi penting diketengahkan karena setiap perubahan baik dalam skala mikro maupun makro selalu diawali oleh segelintir perawat yang memang mampu menangkap permasalahan mendasar dalam dunia keperawatan, mereka inilah yang konsen menyebarkan propaganda dan provokasi kritis untuk menggerakkan batin kita supaya jangan tinggal diam melihat profesi perawat yang mengalami banyak problem. Jangan lupa, semua itu terangkum dalam satu kata: NIAT!Tanpa niat, anda ibarat tubuh tanpa ruh: MATI! Kehilangan niat menulis berarti kehilangan semangat untuk berkarya. Jika anda masih memiliki niat, Syukurlah. Artinya dunia membuka lebar-lebar untuk kesuksesan anda. Ayo jadikan dunia menulis sebagai bagian dari kehidupan Anda!

Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Bangkitkan Gerakan Literasi Perawat"