Bhinneka Tunggal Ika dalam Demokrasi Indonesia

Gebrakan reformasi yang salah satunya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya masih belum terwujud sepenuhnya. Teriakan reformasi belum mampu memiliki daya dobrak yang kuat dalam menata hukum yang lebih baik di negeri ini.

Tuntutan para intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat akar rumput yang mencoba menghentikan ambruknya penegakkan hukum sudah sering digaungkan, tetapi kenyataannya masih jauh dari harapan. Cita-cita menegakkan wibawa hukum hanya tinggal cita-cita tanpa ada wujudnya. Reformasi sebagai “jalan mas” dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan memberantas berbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat.

Kekuatan hukum tidak mampu menyeret para penjahat kera putih. Kekuataan hukum hanya mampu mengadili penjahat-penjahat kelas teri. Maling uang negara dihukum dengan ringan, bahkan dibiarkan bebas. Sementara maling ayam diproses secara ketat dan dihukum berat. Padahal, status mereka sama, yatu maling yang harus diadili.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kasus Bank Century yang tidak ada ujung penyelesainnya secara tuntas, kalau ada hanya penjahat kelas teri saja dan kasus mafia pajak yang hanya mampu mengungkap penjahat kelas ecek-eceknya (Gayus H.P. Tambunan) tanpa mampu menyeret para sutradaranya ke meja hijau dan menjebloskan ke penjara.

Sementara itu, komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagai “pembumihangus” tindak pidana korupsi semakin dirongrong kewenangan dan integritasnya. Lihat saja misalnya revisi RUU Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) yang berencana menghapus hukuman mati. Yang lebih parah lagi dalam revisi UU No. 31/1999 tentang Tipikor versi pemerintah itu, korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum. Mereka tidak terkena pidana.

Mengutip perkataan Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM, penghilangan hukuman penjara itu demi alasan kemanusiaan. “Bangsa ini jangan menjadi bangsa yang kejam, kita harus punya hati nurani. Kalau korupsi Rp25 juta lalu dimasukkan penjara, 5 sampai 6 tahun, kasihan dong”.

Bukankah tidak menghukum koruptor yang menggarong uang negara di bawah 25 juta malah menghancurkan kemanusiaan. Tidak sadarkah bahwa koruptor itu perusak dan pengkhianat nilai-nilai kemanusiaan. Apa tidak lebih baik kita putus atau matikan saja “otak” penghancur kemanusiaan itu.
Membiarkan pejabat negara yang melakukan korupsi di bawah 25 juta bukanlah tindakan edukatif. Tindakan ini hanya upaya pembodohan masyarakat dan upaya pembelajaran rakyat untuk melakukan korupsi. Ini hanya akan menghacurkan peradaban bangsa Indonesia.

Tidak hanya itu, keborokan hukum terus “direproduksi” para elite penguasa di negeri ini. Misalnya lagi, dalam draf revisi UU Tipikor juga menghilangkan ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi 1 tahun. Dalam UU yang berlaku saat ini, ancaman hukum antara 1—4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara. Kewenangan penuntutan KPK pun tidak disebutkan secara jelas. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Negara dalam darurat kebobrokan hukum dan kehancuran peradaban.

Istilah peradaban sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Peradaban yang mengandung unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang melekat pada budaya kasar, jorok, tidak sopanm dan lain sebaginya dikatakan masyarakat dengan peradaban rendah.

Harus diakui seluruh komponen negara akan tersesat tanpa hukum dan peraturan. Dihukumnya koruptor dengan pidana ringan atau bahkan dibebaskannya koruptor dari segala pidana adalah tontonan yang menyedihkan sekaligus mengerikan ketika hukum absen yang kemudian mendorong runtuhnya peradaban bangsa Indonesia. Tidak diberangusnya koruptor karena bobroknya penegakan hukum tidak hanya dilihat dari beratnya beban negara, tetapi juga harus dibaca sebagai bagian dari runtuhnya peradaban.

Ambruknya peradaban juga bisa dilihat dari berkoarnya pemegang kekuasaan: hidup reformasi, berantas KKN, tegakkan hukum, adili pelanggar HAM. Tapi, semua perubahan dan gerakan itu semu belaka. Rakyat terpental jauh berada dalam situasi hyper-reality of politics, yaitu ruang yang disarati dengan kebohongan terencana, kepalsuan citra, pemutarbalikan fakta dan disinformasi. Mereka yang mestinya direformasi telah berteriak: hidup reformasi. Mereka yang terlibat KKN, malah teriak: berantas KKN. Mereka yang terlibat kasus kekerasan HAM, bebas ikut mengatur negeri ini.

Bisa dikatakan pula bahwa runtuhnya peradaban bangsa ini tidak hanya dapat dinilai dari apa tindakan itu secara kasat mata menampilkan gambaran atau realitas pembiaran koruptor bergentayangan di negeri ini, tetapi juga proses penegakan hukum yang sedang dilakukan, termasuk pembuatan undang-undang.

Oleh sebab itu, realitas lemah dan bobroknya penegakkan hukum yang mengakibatkan rendahnya peradaban bangsa harus disikapi secara radikal oleh seluruh elemen bangsa 
(pemerintah, masyarakat, tokoh agama, intelektual, dan sebagainya) demi perubahan peradaban yang lebih baik. Negara dengan seluruh komponennya perlu bersinergi secara serius dan konsisten menegakkan hukum. Penegakan hukum secara adil dan tidak memihak harus diperjuangkan demi tercapainya peradaban bangsa yang tinggi
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Bhinneka Tunggal Ika dalam Demokrasi Indonesia"