Uji Kompetensi : Antara Kewajiban dan Penelantaran

Pelaksanaan Uji Kompetensi di STIK Muhammadiyah Pontianak/Tribun Pontianak

SLPI - Tuntutan profesionalisme adalah hal wajib dipenuhi bagi mereka yang identik dengan seragam putih-putih, sebab nyawa sang pasien jadi taruhannya. Sebut saja mereka yang berprofesi sebagai perawat.

Urgensi Uji Kompetensi

Uji Kompetensi merupakan suatu instrumen yang di wajibkan pemerintah untuk memastikan kualitas lulusan tenaga perawat itu berkualitas atau tidak. Tujuan awalnya sangat baik selain sebagai peningkatan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, juga sebagai tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang dilalui oleh mahasiswa. Dalam uji kompetensi terdapat suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi, dengan adanya uji kompetensi ini menjadi media peningkatan kualitas tenaga perawat dari waktu ke waktu.

Uji Kompetensi menjadi kewajiban yang harus dilalui oleh setiap tenaga kesahatan. Dengan beragam peraturan yang ada, uji kompetensi akirnya menjadi Exit Exam (Ujian Kelulusan) setiap mahasiswa kesehatan, hal ini syahkan melalui Poin 2 Surat edaran DIKTI No 704/e.e3/dt/2013 yang dikeluarkan pada 24 juli 2013. Dalam surat edaran tersebut disebutkan diantara lain: Uji Kompetensi dilakukan secara nasional dan serantak, menjadi syarat kelulusan mahasiswa kesehatan, dilakukan 3 kali dalam satu tahun, yaitu Bulan Maret, Juni dan November setiap tahunnya. Dan Uji Kompetensi mulai berlaku bagi seluruh mahasiswa yang belum menyelesaikan semua tahapan studinya terhitung 1 agustus 2013.

Pada tahap implementasinya, uji Kompetensi di mulai pada bulan Oktober dan November 2013 (Oktober untuk perawat dan November untuk Bidan). Adapaun pelaksanaan Uji Kompetensi tahun 2013 oleh MTKI (Majlis Tenaga Kerja Indonesia) yang ada di bawah BPSDM Kementerian Kesehatan yang berkerjasam dengan DIKTI (Direktorat Pendidikan Tinggi) Kementrian Pendidikan. Pelaksanaan Uji Kompetensi 2013 ini memiliki landasan hukum berupa Surat Peraturan Bersama Dirjen Dikti dan kepala BPSDM No. 36/2013 & No.I/IV/PB/2013 tentang Uji Kompetensi perawat dan Bidan tahun 2013. Dimana pesertanya adalah lulusan program Studi Ners dan Diploma 3 keperawatan serta mahasiswa D3 kebidanan yang lulus antara rentang Agustus- Oktober 2013 yang di ikuti oleh 16.366 mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan (Sesuai Hasil verifikasi panitia).

Dampak Uji Kompetensi 

Semenjak dikeluarkannya system Uji Kompetensi (ukom) membuat tenaga kesehatan khususnya lulusan keperawatan semakin ditindas oleh system tersebut, pasca dikeluarkannya system wajib ukom semua gerbang dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan ditutup begitu saja, 

Seakan kunci untuk membuka gerbang pekerjaan itu adalah Surat Tanda Registrasi (STR) sementara Ijazah yang diperjuangkan bertahun-tahun mengikuti pendidikan akademi perawat dengan gelar D3 (Ahli Madya) maupun S1 + Ners (S.Kep,Ns) tidak serta merta membuat mereka menjadi seorang perawat yang siap pakai. Hal tersebut bukan karena tidak adanya lowongan kerja, namun di tuntut harus mengikuti ujian kompetensi sebagiai syarat mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) pada disiplin ilmu keperawatan. Ketika tidak memiliki STR perawat maka ijazah tidak bisa digunakan untuk melamar kerja. Menungu lagi uji kompetensi selanjutnya itu pun dalam rentang waktu yang lama
  
Rumit dan ribetnya disiplin ilmu yang diterima saat proses perkuliahan tidak menjadikan sebuah jaminan atas profesionalitas kerja ketika di lapangan. Padahal praktek demi praktek serta teori demi teori terapan disiplin ilmu kesehatan telah dipelajari, namun tidak cukup sebagai claim profesi di dunia kerja tanpa adanya STR. Selain itu biaya pendidikannya yang cukup tinggi membuat mereka menaruh harapan besar akan ketersediannya lapangan kerja tanpa embel-embel. Namun pada kenyataannya tuntutan demi tuntutan pemerintah gencar dilayangkan dan mengabaikan hak kesejahteraan mereka sebagai tenaga perawat.

Berdasarkan studi kasus penulis dalam pengurusan STR ini, cukup membingungkan dan menyulitkan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari ujian kompetensi, pemberkasan sampai terbitnya STR bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun. Ada yang hingga dua tahun STR belum jadi, ketika ditanyakan kembali malah diharuskan mengumpulkan berkas lagi. Hal ini pada akhirnya membunuh masa depan anak bangsa yang baru saja akan mengabdikan diri untuk masyarakat. Adapun setelah lulus dari uji kompetensi dan mendapatkan STR, akan diperhadapkan dengan kesulitan yang lain. Masa berlaku STR adalah 5 tahun. Mereka diwajibkan untuk mengikuti pelatihan  atau seminar untuk mendapatkan SKP PPNI sebanyak 25 SKP (Sistem Kredit Point)

Apabila tidak mencapai target, perawat diharuskan membayar sisa SKP yang tidak diambil atau STR nya akan dinonaktifkan. Dengan gaji yang terbilang relatif rendah perawat diharuskan mengikuti pelatihan yang biayanya sampai jutaan rupiah. Misalnya saja pelatihan dan seminar dll, dengan biaya kurang/lebih Rp. 3.500.000 dengan 4 SKP. Belum lagi biaya untuk ikut pelatihan yang lain sampai mencapai 25 SKP. apakah gaji perawat, hanya untuk membayar biaya STR atau Pelatihan?.

Setelah sekian lama pemerintah mengeluarkan kebijakan ini, jaminan kesejahteraan dan masa depan perawat tidak kunjung diperhatikan, semisal pemberian gaji yang sangat rendah sedangkan tuntutan profesionalitas sangat besar, belum lagi waktu kerja yang begitu padat.

sebenarnya penulis pribadi tidak sama sekali menolak UJI Kompetensi. penulis sangat sepakat seperti alasan yang di paparkan pada paragraf kedua tulisan ini. Bahwa Uji Kompetensi sedikit banyaknya dapat memperbaiki kualitas lulusan tenaga keperawatan yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien. Namun perlu dilakukan peninjauan kembali prosedur pelaksanaan Uji Kompetensi yang penulis anggap masih banyak yang perlu di perbaiki untuk mencapai tujuan dari Uji Kompetensi itu yang sebenarnya.

Prosedur pelaksaksaan Uji Kompetensi yang hanya dikerjakan selama 180 menit dengan menjawab soal (A,B,C,D) seakan proses pendidikan dari bangku kuliah kembali berputar arah menjadi anak SD,SMP, dan SMA. Proses pelaksanaan UKOM membuat penulis bingung seakan barometer kecerdasan, potensi dan kompetensi seseorang diukur bagaimana dia mampu menjawab soal (A,B,C, dan D),  ataukah memang perspektif saya yang salah? 

Bukankah dalan Undang-Undang Keperawatan pada BAB IV tentang “Kompetensi, Registrasi, Dan Lisensi” pasal 16 ayat 2 standar kompetensi perawat sebagaimana dimaksud  pada ayat 1 meliputi (aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap mental dan moral, aspek penguasaan bahasa dan aspek tekonologi). Namum pada pelaksanaan Uji Kompetensi soal-soal hanyalah contoh kasus dengan menjawab (A,B,C dan D) yang ada hanya aspek pengetahuan saja sementara empat aspek lainnya dikemanakan? Ataukah analisis, pemahaman dan pemaknaan  saya yang salah?

Penulis mengharapkan sekiranya melalui tulisan ini, pemerintah dapat memberikan kebijakan serta perhatian yang lebih bagi tenaga kerja perawat,

Terakhir penulis tutup tulisan ini dengan Puisi dari sang legendaris yaitu WIJI THUKUL

lingkungan kita si mulut besar
dihuni lintah-lintah
yang kenyang menghisap darah keringat tetangga
dan anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri para panganggur
yang mabuk minuman murahan
lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur film-film kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah
lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik
dan zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
yang mengulum es
limapuluh perak

Penulis: Iwansyah
Founder: Suara Literasi Perawat Indonesia
Penulis: Iwansyah/ Founder Suara Literasi Perawat Indonesia


Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Uji Kompetensi : Antara Kewajiban dan Penelantaran"