Perawat: Mata Duitan?

SLPI - Gaji dokter, bidan, dan perawat  nol pengalaman (fresh Graduate)  sebenarnya tidaklah jauh berbeda, bahkan antara bidan dan perawat cenderung memiliki pendapatan yang sama apabila diukur dengan gaji standar yang didapatnya di Indonesia,  kecuali dokter yang bisa mendapatkan gaji  standar  lebih besar  dua sampai tiga kali lipat dari perawat dan bidan.

Fakta yang terjadi saat ini adalah setelah lulus bidan dan dokter lebih memiliki peluang untuk melaksanakan praktik secara mandiri yang akan membantu mereka meningkatkan kesejahteraannya secara financial. Hal ini membuat dokter dan bidan cenderung lebih mandiri karena mereka  tidak hanya mengandalkan penghasilan tetap (gaji) yang didapatnya secara baku.

Bidan memiliki kewenangan  dan keleluasaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari praktik mandirinya dalam membantu persalinan dengan mendirikan BPS ( Bidan Praktik Swasta). Dokter  dapat meningkatkan kesejahteraan dengan Praktik pengobatannya. Mereka bisa menyelengarakan praktik mandiri  dengan baik secara individu maupun kelompok.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebenarnya pemerintah telah memberikan solusi agar perawat dapat melakukan praktik mandiri keperawatan baik secara individu maupun berkelompok dengan terbitnya Permenkes  148 tahun 2010 tentang praktik keperawatan.  Faktanya peluang tersebut belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh perawat dengan alasan yang beragam seperti  birokrasi kebijakan setengah hati, ketidak jelasan aspek legal dan alasan lainnya yang  semuanya  masih bias.

Apabila perawat memahami bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan keperawatan adalah untuk membentuk seorang perawat agar memiliki pengetahuan yang baik tentang  teori asuhan keperawatan  dan aplikasinya di masyarakat, tentu tidak perlu lagi ada keraguan bagi seorang perawat untuk menyelenggarakan praktik mandiri keperawatan

Pada kenyataannya di lapangan banyak sekali perawat  yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan tidak mampu secara keilmuan  atau mampu secara keilmuan  tapi tidak berani untuk mempraktikan  teori yang didapatnya  dalam bentuk paraktik mandiri keperawatan yang mampu meningkatkan kesejahteraannya secara finansial.

Pengetahuan (teori) keperawatan  dan keberanian melakukan praktik mandiri  keperawatan  dapat dibagi dalam matriks sebagai berikut :

  1. Kuadran I  (Kiri) : Perawat Kurang Pengetahuan (teoritis) dan akhirnya tidak berani melakukan praktik mandiriK
  2. uadran II  (Kiri): Perawat Cukup Pengetahuan (teroitis) tetapi tidak berani melakukan praktik mandiri karena tidak mau atau tidak memiliki inisiatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan praktik mandiri keperawatan.
  3. Kuadran III (Kanan) Perawat Kurang Pengetahuan (teoritis)  tetapi memiliki keberanian untuk melakukan praktik mandiri karena terdesak kebutuhan sehingga  dia mendapatkan dan mengupgrade  ilmu praktiknya secara  otodidak  langsung di lapangan meskipun dengan mengambil banyak resiko hukum (illegal).K
  4. Kuadran IV (Kanan) Perawat Cukup Pengetahuan (teoritis) dan memiliki keberanian untuk melakukan praktik mandiri  dan mampu mempertanggungjawabkannya secara hukum (legal)

Secara financial tentu perawat   yang menempati kuadran IV  adalah perawat yang memiliki  kesejahteraan yang lebih baik  dan relative lebih aman dalam menjalankan usahanya dalam menyelenggarakan praktik mandiri keperawatan di Indonesia. Sayangnya perawat yang menempati kuadran IV ini jumlahnya masih sangat sedikit seperti  sedikitnya jumlah investor pada  cashflow quadrantnya Robert Kiyosaki.

Menariknya  fenomena  yang terjadi di Indonesia saat ini perawat yang secara financial dapat dikatakan lebih baik justru didominasi oleh perawat yang berada pada kuadran III. Meskipun juga perawat yang menempati kuadran  ini masih relative lebih sedikit di banding dengan kuadran I dan II seperti sedikitnya jumlah bisnisman pada cashflow quadrantnya Robert Kiyosaki.

Perawat pada kuadran I adalah perawat yang saat ini memiliki trend peningkatan jumlah seiring dengan menjamurnya bisnis pendidikan keperawatan yang tidak memperhatikan  input dan proses pembentukan lulusan keperawatan yang berkualitas sebagai output dari proses pendidikan keperawatan yang seharusnya.
Hal yang masih melegakan saat ini adalah masih adanya  beberapa pendidikan keperawatan  yang meskipun jumlahnya  sedikit masih tetap konsisten untuk menjaga kualitas lulusannya, meskipun sangat disayangkan mayoritas lulusannya  rata-rata masuk kedalam perawat yang menempati kuadran II. 

Penumpukan jumlah perawat pada kuadran II ini biasanya terjadi karena perawat tidak diberikan stimulus untuk memiliki keberanian dalam menciptakan lapangan kerja dengan memupuk keberanian dalam melakukan atau membuka  praktik mandiri keperawatan di Indonesia. 

Mereka hanya dicetak dan dipersiapkan untuk menjadi pekerja yang baik  di institusi pemerintah dan swasta meskipun nyata sekali bahwa  institusi  pemerintah maupun swasta  di Indonesia yang bersedia menampung perawat pada kuadran II ini rata-rata masih belum mampu memberikan penghargaan  dengan baik dan proporsional kepada mereka.

Akhirnya sejumlah  perawat pada   kuadran II  yang tidak puas dengan penghargaan yang didapatkannya di Indonesia  lebih memilih untuk bekerja di luar negeri karena bekerja di luar negeri faktanya secara significant dapat meningkatkan kesejahteran mereka secara finansial.  Dan jumlah perawat kuadran II yang memilih  bekerja di luar negeripun masih terbatas karena terkendala birokrasi yang  rumit di dalam negeri. Sisa perawat kuadran II yang  belum memiliki kesempatan untuk bekerja di luar negeri ini  akhirnya dipaksa untuk menerima kondisi yang sangat  menyulitkannya  dengan menerima semua bentukkebijakan yang ada.

Perawat yang menempati Kuadran II sebenarnya secara teori memiliki peluang  dan  potensi yang besar untuk masuk secara langsung ke kuadran IV. Masalahnya adalah di keberanian dan kepercayaan dirinya dalam  menyelenggarakan praktik mandiri keperawatan.  Faktanya justru pengalaman praktik dan keberanian perawat pada kuadran III lah yang mengambil peluang untuk masuk pada perawat kuadran IV.

Marilah kita tingkatkan kepercayaan diri kita sebagai seorang perawat agar terlepas dari permasalahan  klasik profesi keperawatan yang selalu berhubungan dengan kesejahteraan financial seorang perawat untuk merubah paradigma perawat gajian menjadi paradigm perawat berpenghasilan dengan menstimulus keberanian seorang perawat  yang berilmu untuk  membangun integritasnya dengan mengaplikasikan keilmuannya secara langsung kepada masyarakat dengan tatakelola yang lebih mandiri melalui praktik mandiri keperawatan.
Semoga menjadi wacana pembuka yang baik untuk ditanggapi oleh rekan-rekan perawat.

Catatan :
Jasa tindakan pelayanan keperawatan di rumah sakit menjadi free karena penghargaannya dikonversikan pada gaji perawat yang diterima setiap bulannya
Referensi  harga yang terbaik  untuk jasa tindakan keperawatan adalah nominal yang muncul sebagai konsekuensi keikhlasan perawat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada kliennya  dan keikhlasan klien untuk menghargai pelayanan perawat  sesuai dengan manfaat dari pelayanan yang diterimanya. 
Daftar jasa tindakan keperawatan adalah nominal pembuka kepatutan dalam memberikan penghargaan kepada keperawat. Nominal penutupnya adalah kesepakatan untuk sama-sama ikhlas antara  perawat dan klien.

Penulis: Wahyu Herman




Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Perawat: Mata Duitan? "