Profesi Perawat Masih Dihargai Golongan III/a

Ilustrasi

SLPI - Tahun 2013 adalah tahun yang menggembirakan bagi profesi perawat, sebab pada 31 Desember 2013 DIKTI telah mengeluarkan surat keputusan bahwa perawat adalah sebuah profesi dan kepangkatan lulusannya diakui lebih tinggi dari lulusan program sarjana. Akan tetapi pada penerimaan CPNS tahun 2014 lalu dalam pembagian formasi, tampak perawat masih berada di formasi golongan III/a, bukannya di formasi golongan III/b setara dengan dokter umum, dokter gigi, apoteker  dan psikologi klinis. Padahal sejumlah usaha telah dilakukan profesi perawat untuk mendapat kesetaraan tersebut, mulai dari pendirian pendidikan profesi di jenjang pendidikan tinggi, perbaikan standar pendidikan hingga mendapat pengakuan KKNI bahwa Ners berada di level 7 setara dengan dokter, penambahan jumlah SKS menjadi 36 SKS setara dengan profesi dokter, apoteker dan magister, pengaturan perawat yang kompeten melakukan asuhan keperawatan dalam UU  RI nomor 38 tentang keperawatan dan uji kompetensi.


Kepangkatan lulusan lebih tinggi dari lulusan program sarjana, dapat diasumsikan bahwa profesi perawat seharusnya III/b sebab kepangkatan golongan untuk lulusan program sarjana adalah III/a. Akan tetapi dalam alokasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dalam Kementerian Kesehatan RI sesuai Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 435 Tahun 2014, perawat masih termasuk formasi III/a bersama  dengan administrator Kesehatan, entomolog kesehatan, epidemiolog kesehatan, fisikawan medis, nutrisionis, penyuluh kesehatan masyarakat, perawat, pranata laboratorium kesehatan, radiografer, sanitarian dan teknisi elektromedis. Sedangkan untuk  formasi untuk  tenaga kesehatan golongan III/b meliputi: dokter, dokter gigi, dokter spesialis, apoteker, administrator kesehatan, psikologi klinis, pranata laboratorium kesehatan dan epidemiolog kesehatan (Depkes, 2014).

Alokasi penerimaan CPNS tersebut memperlihatkan bahwa diantara profesi kesehatan, hanya profesi perawat yang dihargai sebagi golongan III/a sedangkan profesi kesehatan lain berada di golongan III/b. Perbedaan ini mungkin dilatar belakangi oleh peraturan dalam  Kep.MenPan No. 94 tahun 2001 tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kredit bahwa yang dimaksud perawat Penata Muda adalah Sarjana/ Diploma IV keperawatan dan berhak mendapatkan golongan serendah-rendahnya golongan ruang III/a.  Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang  Pengadaan Pegawai Negeri Sipil pasal 11 ayat 4 bahwa golongan ruang III/b ditujukan bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker dan Magister (S2) atau Ijazah lain yang setara. Bahkan ketika ada perubahan perturan ini pada PP RI No. 78 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri  Sipil tidak menjelaskan tentang perubahan peraturan golongan   perawat.

Kesenjangan tersebut tentu saja menjadi tanda tanya besar kepada perawat, sebab pengakuan yang ada tidak ada bukti nyata dalam formasi CPNS tersebut. Kemenkes dan Kemenpan belum menyesuaikan dengan surat yang keputusan oleh DIKTI tapi masih mengacu pada peraturan yang lama.  Ayuningtyas (2013) menyatakan bahwa suatu kebijakan lama jika mengalami kendala, mengandung potensi konflik dan kesenjangan kebijakan maka sebagai solusi kebijakan tersebut adalah harus dikembangkan menjadi kebijakan yang baru. Mungkin tahun 2015 sudah saatnya para pemangku kebijakan mulai evaluasi kebijakan yang sudah ada. Sebab pengakuan dari DIKTI perawat sebagai suatu profesi bukanlah sebuah pemberian atau hadiah semata, tetapi hasil dari sebuah  usaha  pengembangan pendidikan keperawatan yang panjang dengan berbagai dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia. Berikut ini penulis mencoba memberikan beberapa poin yang bisa dijadikan pertimbangan jika perawat layak jadi III/b.  

PPNI (2015) menjelaskan bahwa perbaikan dalam bidang pendidikan dimulai  sejak tahun 1983 dalam deklarasi dan kongres Nasional pendidikan keperawatan indonesia yang dikawal oleh PPNI (Persatuan Perawat  Nasional Indonesia) dan diikuti oleh seluruh komponen keperawatan indonesia, serta dukungan penuh dari pemerintah Kemendiknas dan Kemkes saat itu serta difasilitasi oleh Konsorsium Pendidikan Ilmu Kesehatan saat itu. Dalam deklarasi itu dibuat kesepakatan bahwa pendidikan keperawatan Indonesia adalah pendidikan profesi dan oleh karena itu harus berada pada pendidikan jenjang tinggi. Sejak tahun itu pulalah mulai dikaji dan dirangcang suatu bentuk pendidikan keperawatan Indonesia yang pertama yaitu di Universitas Indonesia yang program pertamannya dibuka tahun 1985. Selain itu pendidikan keperawatan di indonesia telah mengacu kepada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan Nasional bahwa jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencaku: Pendidikan Vokasional, Pendidikan Akademik;dan Pendidikan Profesi. Sedangkan jenjang pendidikan keperawatan mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor. 

Tahun 2008 PPNI dan Asosiasi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) dengan dukungan serta kerjasama Kemendiknas melalui proyek Health Profession Educational Quality (HPEQ), telah memperbaharui dan menyusun kembali Standar Kompetensi Perawat Indonesia, Naskah Akademik Pendidikan Keperawatan Indonesia, Standar Pendidikan Ners, Standar Borang Akreditasi pendidikan Ners Indonesia dan semua standar tersebut mengacu pada Peraturan Presiden Nomor.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan saat ini sudah diselesaikan menjadi dokumen negara yang berkaitan dengan arah dan kebijakan tentang pendidikan keperawatan Indonesia. Dalam KKNI lulusan pendidikan tinggi keperawatan yaitu Ners (Sarjana+Ners)  berada di  Level KKNI 7 sedangkan Magister keperawatan  dan Ners Spesialis berada di  Level KKNI 8. Level ini telah sejajar dengan sarjana kedokteran di level 6, dokter di level 7dan spesialis level 8 (KKNI, 2011) level 6 untuk mahasiwa kedokteran yang telah menyelesaikan program1 kedokteran.  Oleh karena itu jika perawat berharap bisa sejajar dengan dokter maka itu merupakan hal wajar. Sebab   KKNI disusun berdasarkan suatu ukuran pencapaian proses pendidikan sebagai basis pengakuan terhadap hasil  pendidikan seseorang.

Pertimbangan selanjutnya AIPNI telah memfasilitasi penyusunan Standar Panduan dalam Pengelolaan Profesi dan Standar Penilaian kurikulum profesi. Selain itu AIPNI bersama dengan PPNI telah melakukan pengembangan  Program profesi dengan menerapkan kurikulum profesi dan penambahan  jumlah satuan Kredit Semester (SKS) (PPNI, 2015). Sehingga ditahun 2012 jumlah SKS yang awalya hanya dari 25 SKS ditingkatkan menjadi 36 SKS. Hal ini bertujuan agar setara dengan  dengan jumlah SKS profesi tenaga kesehatan lainnya seperti  profesi apoteker dengan 33 SKS, pendidikan dokter 35 SKS dan sesuai  dengan  Kepmendiknas Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Perguruan Tinggi yang menyebutkan bahwa Program Magister (S2) harus mempunyai beban studi minimal 36 SKS. 

Pertimbangan selanjutnya dengan lahirnya UU RI No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, mutu pelayanan keperawatan asuhan keperawatan lebih meningkat sebab dalam undang-undang tersebut telah membuat aturan yang jelas tentang keperawatan. Pasal 4 ayat 1  mengatur  perawat yang kompeten untuk melakukan pelayanan asuhan keperawatan yaitu perawat vokasional dan perawat profesional. Perawat profesi yang dimaksud telah dijelaskan pada ayat (2)  yaitu ners dan ners spesialis. Tidak hanya sampai disitu demi menghasilkan perawat yang berkualitas maka dilakukan adalah pemberian uji kompetensi sesuia dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan pasal 21 ayat 1-7  bahwa mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional. Uji Kompetensi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Uji kompetensi ini bertujuan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.

Melihat begitu banyak banyak upaya yang telah dilakukan dan di tahun 2015 hampir semua  institusi sudah menerapkan kurikulum profesi sejumlah 36 SKS maka diharapkan PPNI sebagai wadah  perhimpunan seluruh perawat di Indonesia  dan AIPNI  sebagai organisasi profesi seharusnya melakukan dengar pendapat dengan DIKTI, Kepmenpan, Kemenkes, BKN dan BKD untuk menyamakan persepsi supaya dalam perumusan pengajuan formasi menjadi benar secara kaedah, dan  mengakui lulusan profesi keperawatan setara golongan 3B, seperti profesi lain apoteker, kedokteran, dan kedokteran gigi.

Peran para pemangku kepentingan ini sangat penting bagi profesi. Dimulai dari peran DIKTI, perawat meskip di tahun 2013 telah diakui sebagai sebuah profesi yang lebih tinggi kepangkatannya dari lulusan sarjana, tetapi keputusan itu tidak diikuti dengan keputusan tertulis jika profesi perawat berhak mendapatkan golongan III/b. Kep.MenPan No. 94 tahun 2001 tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kredit menjelaskan bahwa perawat Penata Muda adalah Sarjana/ Diploma IV dan berhak mendapatkan  golongan ruang III/a.  Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang  Pengadaan Pegawai Negeri Sipil menjelaskan bahwa golongan ruang III/b ditujukan bagi pelamar dengan Ijazah Dokter, Apoteker dan Magister (S2) atau Ijazah lain yang setara. Bahkan ketika ada perubahan perturan ini pada PP RI No. 78 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri  Sipil tidak menjelaskan tentang adanya perubahan pada aturan golongan   perawat. Dengan adanya peninjauan kembali atas aturan-aturan tersebut, besar harapan perawat agar terjadi perbaikan dalam berbagai aspek kedepannya, baik pengakuan, kesejahteraan dan lain-lain.

Rekomendasi dari analisis kebijakan ini diharapkan PPNI  dan AIPNI  sebagai organisasi profesi melakukan dengar pendapat dengan DIKTI, Kepmenpan, Kemenkes, BKN dan BKD untuk menyamakan persepsi supaya dalam perumusan pengajuan formasi menjadi benar secara kaedah, dan  mengakui lulusan profesi keperawatan setara golongan III/b, seperti profesi lain apoteker, kedokteran, dan kedokteran gigi.  Sebab semua insan keperawatan mengharapkan perbaikan dalam berbagai aspek ke depannya, baik sistem pendidikan, pengakuan, kesejahteraan dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Depkes, RI. (2014).  Alokasi CPNS Kemenkes tahun 2014 sebanyak 2.285 formasi. Diunduh dari: www.depkes.go.id
  2. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 94/KEP/M.PAN/11/2001 tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kreditnya
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang  Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
  6. Permenkes RI No. 73 tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Umum di Kementerian Kesehatan.
  7. PPNI. (2015). Pendidikan keperawatan. Diunduh dari: http://www.inna-ppni.or.id/index.php/pendidikan-keperawatan.
  8. UU Republik Indonesia No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan.
  9. UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan Nasional.
  10. UU Republik Indonesia  Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan
  11. Peraturan Presiden Nomor.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
  12. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Indonesia Qualification Framework).Diunduh dari: http://www.kopertis12.or.id/2011/01/30/kerangka-kualifikasi-nasional-indonesia-indonesia-qualification-framework.html
  13. SK Ditjen Dikti Nomor 163/Dikti/Kep/2007 tentang Penataan dan Kodifikasi Program Studi pada Perguruan Tinggi




Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Profesi Perawat Masih Dihargai Golongan III/a"